Kiprah Alumni

Cerita di Sebuah Dusun

Tiga tahun adalah waktu yang singkat dalam menjalani kehidupan. Hampir selama itulah waktu yang saya habiskan dalam pengabdian di Kalimantan Barat ini sebagai Guru Garis Depan tahap 2. Ditugaskan di salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Ketapang. Tepatnya di SDN 23 Tumbang Titi, Kecamatan Tumbang Titi, sebuah sekolah yang terletak di sebuah dusun yang jaraknya sekitar 5 km dari pusat desa, yaitu dusun Batu Pindah. Warga menyebutnya dusun Tempesuan.

Sekolah Dasar Negeri 23 Tumbang Titi adalah satu-satunya tempat Pendidikan formal yang terletak di dusun Batu Pindah ini, yang menjadi satu-satunya tujuan anak-anak yang usia sekolah dalam menuntut ilmu. Dan dalam jarak 3 km selanjutnya mengikuit jalan poros juga terletak sebuah sekolah dalam dusun lainnya. Rata-rata disini setiap dusun mempunyai sekolah dasar, mengingat jarak setiap dusun yang cukup jauh. Jadi, sistem zonasi yang baru-baru ini menjadi salah satu acuan dalam merekrut siswa sekolah baru sudah lama terlaksana di tempat ini.

Hal tersebut lah sangat mempengaruhi jumlah siswa di sekolah tersebut. Di SDN tempat saya mengabdi, mengingat jumlah penduduk sangat minim di dusun ini, jumlah siswa pun sedikit. Tahun lalu kami hanya mendapatkan 1 orang saja siswa baru karena hanya dia satu-satunya anak-anak yang seusianya. Total siswa di sekolah ini hanya 24 siswa saja. Bisa dibayangkan jika itu dibagi per kelas  dari kelas 1-6. Dan saya yang diamanahkan mengajar dan juga wali kelas 6 hanya mendapatkan 5 siswa saja.

Di Sekolah ini tidak hanya siswa saja yang sedikit, tapi juga personil tenaga pengajarnya. Guru-guru yang bertugas disini hanya berjumlah 5 orang (2 PNS dan 3 Kontrak Daerah), ditambah dengan 1 kepala sekolah. Dan oleh karena itu, merangkap kelas adalah tugas yang biasa kami lakukan jika ada salah seorang guru berhalangan hadir atau sakit. Termasuk juga mengajarkan mata pelajaran lainya yang bukan keahlian kami, seperti SBdP dan Penjas.

Awal mula bertugas tahun 2017, Kalimantan merupakan hal yang baru bagi saya, mengingat sebelumnya juga pernah mengabdi dalam program SM3T LPTK Unsyiah penempatan di Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2012.

Dan ketika sudah berada di dusun, akses listrik, sinyal sudah tidak ada lagi. Dengan jalan yang berlumpur ketika musim hujan, jarak segitu ditempuh dengan waktu lebih dari 20 menit. Butuh usaha yang besar untuk melalui jalan ke sekolah, jalan licin dan berlumpur bukanlah hal asing bagi guru-guru dan warga disini. Jatuh dan sangkutnya motor di lumpur sudah terbiasa kami alami. Ketika hal tersebut terjadi, siapapan yang kebetulan berada disitu akan membantu meloloskan motor dari lumpur. Untuk kenyamanan, kami memakai sepatu lumpur untuk ke sekolah, sampai di sekolah diganti dengan sepatu lain yang disimpan di sekolah.

Pengabdian dalam pendidikan tidak hanya dilakukan dalam kegiatan formal di sekolah dalam bentuk mengajar. Saya dan teman-teman GGD disini juga mengadakan kegiatan literasi. Kami menciptakan sebuah Taman baca masyarakat (TBM). Seminggu sekali saya dan tim mengunjungi ke sekolah-sekolah untuk membuat kegiatan. Tim Taman Baca mengunjungi sekolah-sekolah dengan membawa buku-buku bacaan yang didapatkan dari donasi. Adapun kegiatan ini berbentuk membaca bersama dengan bimbingan, belajar sains sederhana, games edukatif. Seminggu sekali saya dan kawan-kawan GGD lainnya mengunjungi sekolah-sekolah. Kegiatan ini biasanya berlangsung di siang/sore hari selama 1-2 jam. Pengurus Taman Baca membawa buku yang dimasukkan ke dalam kardus dan tas punggung yang akan dibagikan kepada anak-anak untuk dibaca. Alhamdulillah kegiatan ini sangat dinantikan dan disenangi oleh anak-anak.

Di kecamatan Tumbang Titi ini ada 29 Guru Garis Depan yang ditugaskan dan menyebar ke sekolah-sekolah yang mayoritasnya bertugas di Sekolah Dasar. Berasal dari berbagai propinsi yang berbeda, saya dari Aceh, ada dari Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, NTB, dan juga ada dari Sulawesi. Keberanekaragam asal-usul kami ini membuat rasa kekeluargaan sesama perantau dalam satu program semakin kuat.

Alhamdulillah pertengahan tahun 2019 merupakan awal mulanya kemajuan dusun Batu Pindah, Ketika melihat beberapa orang dengan memegang alat pengukur jalan nampak berkeliaran di jalanan menuju sekolah, ternyata mereka dari rekanan proyek pembuatan jalan, jalan menuju dusun akhirnya diaspal. Senangnya itu seperti kehausan bermain bola sepanjang 90 menit dan wasit meniup peluit tandanya pemain sudah boleh minum sirup dingin cap patung.

Kesenangan warga bertambah di awal tahun 2020, dusun ini mendapatkan angin segar lainnya. Listrik masuk ke dusun. Ketika tulisan ini dibuat, baru tiang listrik dan kabel dasar saja yang baru terpasang. Ketiadaan listrik membuat kegiatan surat-menyurat dan juga administrasi lainnya dilaksanankan di rumah Kepala Sekolah. Lumpur dan juga kegelapan sudah mulai menghilang dari dusun Batu Pindah. Sangat berharap di tahun 2021 sinyal bisa kami nikmati di lingkungan sekolah.

Minggu lalu adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak kelas 6 yang hanya 5 orang itu, pengumuman kelulusan adalah alasannya. Karena pandemic covid 19 ini mengkibatkan kegiatan belajar mengajar terhenti sementara dan juga meniadakan Ujian Nasional. Kebijakan pemerintah meniadakan UN maka diadakan cara lain untuk menilai kelulusan siswa yaitu dengan akumulasi nilai dari semester-semester sebelumnya.

Ada hal yang sangat miris ketika saya menanyakan apa rencana mereka setelah tamat dari SDN ini, ada salah satu dari mereka menjawab untuk tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi. Ketika saya menanyakan alasannya dia hanya menjawab “Tidak, pak Guru”. Itu saja jawabannya kemudian tertunduk diam.

Hal itu saya adukan ke Kepala sekolah, dan beliau juga tidak memberi respon yang pasti, selaku beliau adalah juga salah satu sesepuh dalam suku di wailayah ini, saya yakin beliau tau apa yang terjadi sebenarnya.

Saya tidak tau apa rencana sang anak itu, karena tahun lalu ada juga kakak kelasnya yang begitu lulus dari SD langsung menikah. Dan menurut cerita, itu bukan satu-satunya lulusan SD yang langsung menikah.

***
Kontributor
Agus Riansyah, S.Pd., Gr.

Instansi
SDN 23 Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

4 Comments

  1. Mantap pak Guru semoga api pengabdian selalu berkobar didalam jiwa raga👍👍👍👍

  2. Semangat Pak Agus dan teman GGD lainnya……
    Haru biru perasaan membaca tulisan Bapak….mudah2an jika anak2 kita membaca tulisan bapak dapat menyadarkan dan memotivasi mereka agar lebih baik lagi…..
    Apa yang Bapak gambarkan dalam tulisan tersebut mengembalikan ingatan saya kepada kondisi saat SD dahulu di tahun 1973, tidak persis sama tapi mirip. Belajar di bawah remang-remang lampu sentir, jalan belum beraspal , dan harus berjalan kaki ke sekolah setiap hari, pergi dan pulang…..
    Jika Bapak ada kesempatan membaca balasan saya, mohon sampaikan juga ke anak2 didik Bapak bahwa jika mereka sungguh2 dan bersemangat melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, maka tidak ada yang tidak mungkin untuk diraih. Banyak mereka yang bergelar profesor, doktor,dan master serta para pejabat tinggi di negara kita ini, dahulu bermula seperti mereka, hidup dan bersekolah dalam kondisi memprihatinkan…..
    Hayooo…tetap semangat…….majulah pendidikan Indonesia..

    Salam

    Syahrial

  3. Mantap pak Agus! Walau sedikit demi sedikit “kemewahan hidup” (baca: aspal, listrik dn kemudian sinyal komunikasi) sudah merangkak menuju batu pindah namun pak Agus telah merasakan struggle dari seblum adanya kemewahan hidup itu. Kelak hal yg sebelum itu akan lebih manis dikenang dan diceritakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button